Sabtu, 07 September 2013

Etika dalam Prespektif Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perspektif Islam, keberadaan, peranan, dan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak bisa diingkari. Tidak ada pendidikan tanpa "kehadiran" guru. Guru merupakan penentu arah dan sistematika pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola sampai kepada usaha bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam rangka mengakses diri akan pengetahuan dan nilai-nilai hidup. Guru merupakan resi yang berperan sebagai "Pemberi Petunjuk" kearah masa depan anak didik yang lebih baik.
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak aau penhacur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalam konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan dalam Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang melihat guru bukan hanya pada penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berprilaku baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempratekkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan makalah pada makalah ini adalah :
1.         Bagaimana etika pembelajaran dalam perspektif islam?
2.         Bagaimana etika pembelajaran berdasarkan Al Qur’an yang diterapkan dalam proses belajar mengajar?
3.         Bagaimana etika pembelajaran pada zaman Rasulullah SAW?
4.         Bagaimana etika pembelajaran pada zaman Sahabat?


C.    Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, diantaranya:
1.         Untuk mengetahui etika pembelajaran dalam perspektif islam.
2.         Untuk memahami etika pembelajaran berdasarkan Al Qur’an yang diterapkan dalam proses belajar mengajar.
3.         Untuk mengetahui etika pembelajaran pada zaman rasulullah SAW.
4.         Untuk mengetahui proses pembelajaran pada zaman sahabat.






BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA PEMBELAJARAN DALAM PRESPEKTIF ISLAM

A.    ETIKA PEMBELAJARAN DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Kajian tentang ilmu pengetahuan pada masa Nabi atau Islam niscaya membahas tentang masalah etika sebagai salah satu komponen penting dalam proses itu sendiri.  Dalam Islam sendiri, sebagai agama yang di dalamnya terdapat multi disiplin keilmuan tentu saja memiliki acuan yang baik dalam mengarahkan bagaimana perkembangan manusia dapat serasi dengan alam dan lingkungan atau bahkan dalam situasi yang berbeda, justru manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengarahkan kemana lingkungan social tersebut terbentuk. Islam merupakan Agama yang Rahmatan Lil’almin tentu saja memiliki kajian khusus tentang etika. etika merupakan salah satu kajian yang dapat digunakan agar subjek menjadi lebih terarah dan dapat menciptakan realitas yang dinamis dan harmonis.
Dalam menjalankan proses pengajaran sangat diperlukan guru yang profesional, karna semakin profesionalnya seorang guru dapat memberikan kontribusi yang berarti pada anak didik. Dalam hal ini Islam sangat memberikan perhatian kepada para guru, sebab keberadaan mereka bagaikan batu pertama dalam strukktur perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan bimbingan dan pembangunan tingkah laku dan mentalitas individu dan masyarakat. (Arief, 2003 : 136)
  Guru dalam proses pembelajaran di samping sebagai orang yang usaha menyempurnakan sosial dan jalan bimbingan para peserta didik, mareka juga harus menjadi panutan atau teladan bagi para murid. Murid memperoleh sifat yang baik serta kecendrungan yang benar, jiga perilaku yang utama dan kealiman, dari guru-guru mareka yang mana bimbingan dan tindak tanduknya merasuk kedalam sanubari mareka. Pembelajaran dalam Islam sangatlah menjunjung tinggi pada para pendidik, karena mareka adalah faktor utama dalam menentukan keberhasilah pembelajaran. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki metodelogi dalam penyampaian pembelajaran.
Etika dalam perkembangannya di era modernisme seperti sekarang ini menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan. Para orang tua ketika dihadapkan dengan arus perkembangan  teknologi yang sarat akan nilai-nilai negatif, cenderung mengarahkan anaknya kepada nilai-nilai keagamaan yang penuh akan nilai-nilai etik.
Demikian juga halnya dalam proses belajar dan mengajar, Etika dalam kaitanya dengan belajar dan mengajar bertujuan mengarahkan bagaimana proses belajar dan mengajar yang sebenarnya, tentu saja dengan adanya rujukan yang jelas, maka diharapkan dapat menghasilkan out put yang maksimal terutama para anak didik yang berilmu sekaligus beriman dan beretika.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting bagi terciptanya generasi penerus bangsa yang berilmu pengetahuan serta berakhlaqul karimah. Pendidikan Islam adalah proses pentransferan nilai yang dilakukan oleh pendidik, yang meliputi proses pengubahan sikap dan tingkah laku serta kognitif peserta didik, baik secara berkelompok maupun individual kearah kedewasaan yang optimal dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga diharapkan peserta didik mampu memfungsikan dirinya sebagai hamba maupun khalifah fil ardh dengan tetap berpedoman kepada ajaran Islam (Susanto, 2009: 3). Dalam mewujudkan hal tersebut, tentunya diperlukan cara yang baik dan harus sesuai dengan syari’at Islam. Karena Islamlah agama satu-satunya yang diterima di sisi Allah swt. Dalam Al-qur’an disebutkan : inna al-dina ‘inda Allah Al-Islam. (QS. Ali Imran:3). Dalam Islam dikenal dua pedoman utama yaitu, yang pertama adalah Al-qur’an dan yang kedua adalah hadits. Dari dua pedoman inilah seharusnya umat Islam berkiblat. Sehingga tidak akan tersesat selama-lamanya didalam jurang kehancuran.
Adapun berbagai elemen pendidikan atau pembelajaran yang di ungkapkan para ahli adalah sebagai berikut (Nata, 2011:17):
1.         Menurut Athiyah al-Abrasyi, unsur materi atau bahan yang ditanamkan atau didikan kepada peserta didik, selain berupa ilmu pengetahuan yang terpenting adalah akhlak mulia dan rasa keutamaan.
2.         Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, unsur tujuan yang mengubah tingkah laku, baik pada kehidupan individu, masyarakat ataupun alam sekitarnya. Menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada diri anak atau pada orang-orang yang sedang dididik.
3.         Imam Ghazali merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir dalam Islam yang menyinggung tentang pentingnya etika dalam pendidikan terutama dalam  proses belajar mengajar.
Menurut segi teoritis, etika di identikkan dengan ilmu ahklak. Akhlak sendiri merupakan kata yang memiliki arti mendekati moral. akhlak berasal dari bahasa arab yang berarti tabiat, watak budi pekerti, perangai dan adat istiadat atau kebiasaan. Kata ahlak yang merupakan bentuk jamak dari kata hulk mempunya akar kata yang sama dengan kata khalik (pencipta, Tuhan) dan mahkluk (yang diciptakan), yaitu dari asal kata halaka (menciptakan). Dalam kata akhlak tercakup pengertian terciptanya kepertaduan antara kehendak khalik dengan prilaku manusia sebagai mahkluk. Baik prilaku seseorang dengan orang lain maupun dengan lingkungannya. (Nasution, Harun, 1992 : 981)
Dalam Islam landasan akan nilai-nilai Etika telah tertata rapi baik yang berasal dari rujukan primer (Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw) maupun dari rujukan sekunder (pemikiran para tokoh-tokoh muslim dalam hal etika). Tinggal bagaimana sebagai manusia yang berfikir mampu menelaah  konsep tersebut  menjadi  lebih bermanfaat dan mudah dalam menerapannya dalam  keseharian.
Dalam prakteknya  setidaknya terdapat cara-cara yang dapat dilakukan seorang muslim dalam memahami landasan primer maupun sekunder dalam  islam agar etika dapat menjadi budaya dalam  berkehidupan. Tentu saja etika yang dimaksud adalah etika yang bernafaskan Islam  sehingga akan  terasa syiar Islam bagi kalangan yang lain.
Etika belajar mengajar dalam Islam adalah sebuah fitrah yang telah dimiliki oleh Islam itu sendiri. Bukan saja sebagai agama, Islam sebagai pandangan  hidup juga pada dasarnya mengandung nilai-nilai etika. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga seluruh dimensi dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan segi pandangan Islam, maka agar seorang pendidik itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya. Pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antara bangsa maka haruslah pendidik itu memiliki sifat-sifat yang berikut:
1.      Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79,
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
Artinya : “ Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
2.      Bahwa ia mempunyai persiapan  ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3.      Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4.      Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadisth Nabi S.A.W (Hadits Arba’in anawawiyah), “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
5.      Bahwa ia memiliki tekad yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
6.      Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
7.      Bahwa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar. Adapun dalam Kitab Ta’lim Muta’allim cara memilih guru adalah carilah yang alim, yang bersifat wara’ dan yang lebih tua.
Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ 
  Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari pembahasan tersebut jelaslah bahwa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan saja di dalam  sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti sekolah-sekolah pendidikan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyadari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, amanah, professionalisme.

B.     ETIKA PEMBELAJARAN BERDASARKAN AL-QURAN & HADIST
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir.
Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah proses belajar mengajar yang biasa disebut dengan pendidikan.
Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Al-Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Al Ghazzali (2009: 27-30)  menjelaskan dasar hukum dan dalil bahwa mengajarkan ilmu itu wajib dalam QS. Ali Imran : 187

Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu) :’hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya”.
Ayat lain menjelaskan tentang larangan menyembunyikan ilmu dalam QS Al Baqarah :283,

“Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya”.
Selanjutnya diperjelas lagi dalam beberapa hadist, diantaranya Nabi SAW bersabda “Sebaik-baik pemberian adalah kata-kata yang mengandung hikmah. Engkau mendengar lalu engkau menyimpannya baik-baik, kemudian engkau menyampaikan kepada saudaramu sesame Muslim, engkau mengajarinya. Amalan itu setara dengan ibadah setahun”.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Etika belajar mengajar dalam Islam adalah sebuah fitrah yang telah dimiliki oleh Islam itu sendiri. Bukan saja sebagai agama, Islam sebagai pandangan hidup juga pada dasarnya mengandung nilai-nilai etika. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga seluruh dimensi dalam kehidupa manusia.
Perbedaan yang sangat jelas dengan konsep sebelumnya adalah etika belajar mengajar dalam Islam mengambil nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sehingga penerapannya mengacu kepada dogma dan otomatis pelaksanaannya tidak bertentangan dengan dogma yang ada dalam Islam.
Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara guru itu mengajar. Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar-pakar. Secara lengkap, pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut : “Pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku  yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi denga lingkungannya”.
Sebagai pendidik hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Banyak hal yang berkaitan dengan kasus-kasus pendidik yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat dalam proses belajar mengajar, hendaknya meninggalkan masalah-masalah yang tidak berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Allah SWT telah menyalahkan Bani Israel tentang banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, pertanyaan-pertanyaan yang ada melahirkan tindakan yang tidak penting pula. Karenanya sebagai pendidik hendaknya menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Berpendirian Teguh dan Berlaku Adilbertakwalah kepada Allah dan bertindak adillah  diantara anak-anakmu.” (H.r Muttafaq alaih).
Kata-kata (sabda) Nabi Muhmmad adalah wahyu yang harus di tadaburi, lebih-lebih firman Allah dalam ayat suci Al-Qur’an. Seorang pendidik seperti halnya yang disabdakan nabi, keadilan dan memperlakukan peserta didik akan menjadikan mereka terperhatikan dan tidak adanya kecemburuan social dan kesenjangan antar murid. Disisi yang lain, tanpa di tadaburipun dengan melaksanakan sabda nabi dengan apa adanya telah termasuk melaksanakan hikmah, karena hikmah yang dimaksud adalah bagaimana penjabaran dari sabda yang ada.
Yakinkan dalam hati bahwa sesungguhnya Allah tidak memerintahkan sesuatu dan tidak melarang sesuatu tanpa adanya hikmah. Allah swt berfirman :

Artinya :
“… ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan sesuatu dengan sia-sia….” (Q.S Ali Imran : 191).
Berpendirian teguh tidaklah sama dengan idealisme yang akut. Berpendirian teguh adalah sikap kepastian dalam bersikap dalam menghadapi segala bentuk permasalahan yang pelik. Sikap terbuka dan mau menerima saran adalah bagian dari pendirian yang teguh, bukannya menutup diri dan menganggap diri sebagai yang paling banar dan dengan serta merta menyalahkan orang lain.
Di dalam mendidik, seyogyanya pendidik mendidik dengan susunan yang tertib, artinya mengajarkan mulai dari hal-hal yang paling mendasar dan hal-hal yang menjadi akar dari hal yang harus diajarkan, setelah itu berhasil maka barulah anak didik diajarkan hal-hal yang menjadi “batang” kemudian “ranting” kemudian “daun” hingga selanjutnya menyentuh pada wilayah “pucuk”nya, itu semua agar perkembangan anak didik dapat di awasi dan di pelihara. Maka tidak salah, pengertian yang diberikan oleh ibnu abbas tentang pendidik/ atau murobbi yaitu
الذين يربون الناس بصغار العلم قبل كباره
“Orang yang mendidik manusia mulai dari pengetahuan-pengetahuan kecil atau mendasar sebelum pengetahuan yang besar”.
Pengertian ini bisa dibuktikan dengan merujuk pada cara pengajaran luqman sebagai pendidik yang baik yang telah diabadikan dalam Alqur’an, dalam QS Al-luqman ayat 13-19 :

kita melihat luqman mengajarkan kepada anak-anaknya mulai dari hal yang paling mendasar yaitu tauhid, aqidah yang benar, hubungan baik kepada  sang  pencipta, dengan perintahnya “laa tusyrik billah” “jangan mempersekutukan Allah”, selanjutnya luqman mengajarkan agar memperbaiki hubungan dengan manusia utamanya berbuat baik kepada kedua orang tua, bersyukur kepada Allah lalu kedua orang tua, bagaimana cara menyikapi orang tua yang mengajak kepada kesesatan ,kemudian mengingatkan bahwa setiap yang dilakukan pasti ada balasannya, selanjutnya luqman mengajarkan untuk senantiasa melaksanakan tuntunan agama yang pokok seperti sholat baru setelah itu menyuruh untuk berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajarkan kesabaran, lalu menngajarkan akhlak yang baik yaitu dengan melarang sombong dan angkuh terhadap manusia lain hingga mengajarkan hal-hal yang berada pada pucuk pengetahuan, namun buah dari akar, yang itu diibaratkan dengan perintah “sederhana dalam berjalan” dan “melunakkan suara”. Keterangan ini menunjukkan bahwa pendidik dalam islam haruslah memperhatikan hal-hal dengan sengat terperinici dan melakukan proses pendidikan secara berkesinambungan.
Dalam buku Pemikiran Pendidikan Islam mendefinisikan pendidikan adalah seorang menyampaikan ilmu, memberi nasihat dan teladan bagi anak didiknya. Untuk itu pendidikan harus mampu mempertahankan penampilannya sebagai orang terbaik dimata anak didiknya,  sekaligus penanggungjawab pertama dalam pendidikan anak berdasarkan ajaran-ajaran agama islam ( Kholik, 1999: 51). Seorang pendidik harus mampu mendidik manusia secara utuh terlebih lagi dalam pendidikan etika, sebab tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta agar menjadi insan yang seutuhnya.
Namun pada kenyataannya, hampir para pendidik pada realita sekarang mendidik hanya demi memperoleh materi keduniaan semata. Semestinya, setiap pendidik hendaknya senantiasa menumbuhkan dan mengembangkan ilmu dan amalnya kepada peningkatan yang lebih, sehingga patut dan cocok menjadi penasehat. Seorang pendidik tidak patut berdiam diri tidak bergerak dan tidak mengambil inisiatif apa pun dalam menyaksikan anak didiknya melakukan kemaksiatan. Janganlah para pendidik merasa kewajibannya hannya mengisi otak anak didiknya saja, tanpa pernah mengajurkan mereka kejalan takwa dan taat kepada Allah SWT dan janganlah hannya mengharap dan menunggu gaji akhir bulan, sehingga melupakan kepentingan yang pokok yaitu berdakwah, menyeru kepada agama Allah SWT (Assayyid,1987: 17). Allah SWT telah berfirman dalam Al Qur’an :

Artinya : 
Katakanlah :” dengan karunia Allah dan Rahmatnya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatnya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.( QS. Yunus (10) : 58)
Dengan demikian pendidik sebagai uswatun khasanah, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi pendidik yang baik. Dalam hal ini Imam Al-Ghozali mensyaratkan untuk orang yang dapat menjadi pendidik adalah orang yang telah mencapai derajat alim. Dalam arti pendidik telah dapat mendidik dirinya sendiri,  kehidupannya dihiasi dengan akhlak yang mulia, sehat, syukur, ikhlas, tawakal, berlaku benar dan lain sebagainya. (Kholik, 1999: 96)













C.    ETIKA PEMBELAJARAN PADA ZAMAN RASULULLAH
D.    ETIKA PEMBELAJARAN PADA ZAMAN SAHABAT (Khulafaur Rasyidin)

Pada masa ini kaum muslimin tidak lagi ditemani guru agung, Nabi Muhammad sehingga merupakan masa yang berat terhadap berbagai cobaan dan tekanan yang dihadapi dari dalam dan luar.
Namun berkat petunjuk dan arahan dari Rasulullah semasa beliau hidup, kaum muslimin dapat melintasi segala kesulitan sehingga meraka mencatatkan dalam lembaran sejarah sebagai guru agung yaitu Muhammad SAW. Para sahabat Rasul, sekaligus sebagai murid-murid beliau yang memimpin kaum Muslimin sesudah Rasul wafat, sanggup melintasi segala ujian dengan baik disebabkan mereka berpegang pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah serta mengikuti jejak Rasul semasa hidupnya.
Jadi, pada masa kulafaurrasyidin ini seakan-akan kehidupan Rasul itu berulang kembali. Pemikiran pendidikan Islam masih tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama rujukan pendidikannya. Pemerintahan Islam dipegang secara bergantian oleh Abu Bakar, Uamar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
Visi pendidikan pada masa Khulafauurasyidin secara eksplisit sulit dijumpai. Namun dari berbagai fakta dan data yang dapat ditemui, visi pendidikan pada masa Khulaurrasyidin masih belum berbeda dengan visi pendidikan pada zaman Rasulullah SAW. Hal ini disebabkan karena para Khulaurrasyidin adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW. Visi tersebut adalah unggul dalam bidang keagamaan sebagai landasan membangun kehidupan umat. Sejalan dengan visi tersebut, maka misi pendidikan pada zaman Khulafaurrasyidin dapat dikemukakan sebagai berikut (Nata, 2011: 118):
1.         Memantapkan dan menguatkan keyakinan dan kepatuhan kepada ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara memahami, menghayati, dan mengamalkannya secara konsisten. Seperti yang tersurat dalam Hadits Arba’in Anawawiyah yang artinya : “ Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”.
2.         Menyediakan sarana prasarana dan fasilitas yang memungkinkan terlaksananya ajaran agama.
3.         Menumbuhkan semangat cinta tanah air dan bela Negara yang memungkinkan Islam dapat berkembang keseluruh dunia.
4.         Melahirkan para kader pemimpin umat, pendidik dan da’i yang tangguh dalam mewujudkan syi’ar Islam.
Adapun tujuan pendidikan pada masa itu melahirkan umat yang memiliki komitmen yang tulus dan kukuh terhadap pelaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Peserta didik pada zaman sahabat terdiri dari masyarakat yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Namun yang khusus mendalami bidang kajian keagamaan hingga menjadi seorang yang mahir, alim dan mendalam penguasaannya di bidang ilmu agama jumlahnya terbatas. Sarana pendidikan dalam arti umum, yakni membentuk sikap mental keagamaan adalah seluruh umat Islam. Adapun sarana pendidikan dalam arti khusus yakni membentuk ahli ilmu agama adalah sebagian kecil dari kalangan tabi’in yang selanjutnya menjadi ulama.
Para pendidik di zaman sahabat antara lain Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Zaid ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari. Dari merekalah kemudian lahir para siswa yang kemudian menjadi ulama dan pendidik. Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, Khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan di kota Mekkah. Selanjutnya beliau juga mengangkat sahabat-sahabat untuk bertugas menjadi guru daerah misalnya Abdurrahman bin Ma’qal dan Imran bin al-Hashim ditugaskan mengajar di Bashrah, Abdurrahman bin Ghanam dan Hasan bin Abi.
Dengan demikian, yang menjadi pendidik adalah para Khulafaurrasyidin sendiri dan para sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW dan memiliki pengaruh yang besar.
Khulafaurrasyidin kemudian menentukan kriteria pendidik, sebagaimana kriteria yang diberikan oleh Rasulullah SAW, yaitu bahwa orang yang dapat diangkat menjadi seorang pendidik hendaknya memiliki sifat-sifat tertentu. Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW dan para sahabat memiliki sifat-sifat sebagai seorang pendidik professional, yaitu:
1.         Memiliki potensi akademik yakni menguasi materi pelajaran dengan baik.
2.         Memiliki kompetensi pedagogis, yaitu menguasai teknik menyampaikan pelajaran dengan efisien dan efektif.
3.         Memiliki kompetensi kepribadian dan akhlak mulia sehingga dapat lebih mudah membentuk pribadi siswa dengan baik.
4.         Memiliki kompetensi social yakni berkomunikasi dan kerja sama yang baik dengan para siswa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.
Adapun metode yang mereka gunakan dalam mengajar antara lain dengan membentuk halaqah. Yakni guru duduk disebagian ruangan masjid kemudian dikeliling oleh para siswa. Guru menyampaikan ajaran kata demi kata dengan artinya dan menjelaskan kandungannya. Sementara para siswa menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan oleh para guru.
Selain itu, seorang pendidik selain harus tampil bersih dan rapi, juga senantiasa menjaga dan memelihara kebersihan. Khulafaurrasyisin adlah para Khalifah yang jujur dan lurus. Nama ini sudah mencerminkan sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang baik. Sehubungan dengan ini, maka Khulafaurrasyidin layak menjadi pemimpin dalam arti yang luas, termasuk mendidik, mengarahkan dan membina umat.







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dibahas pada makalah yang berjudul Etika Pembelajaran dalam Perspektif Islam dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjalankan proses pengajaran sangat diperlukan guru yang profesional, karna semakin profesionalnya seorang guru dapat memberikan kontribusi yang berarti pada anak didik. Guru dalam proses pembelajaran di samping sebagai orang yang usaha menyempurnakan sosial dan jalan bimbingan para peserta didik, mareka juga harus menjadi panutan atau teladan bagi para murid.
Berdasarkan segi pandangan Islam, maka agar seorang pendidik itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya. Pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antara bangsa maka haruslah pendidik itu memiliki sifat-sifat telah dicontohkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.





Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW dan para sahabat memiliki sifat-sifat sebagai seorang pendidik professional, yaitu:
1.         Memiliki potensi akademik yakni menguasi materi pelajaran dengan baik.
2.         Memiliki kompetensi pedagogis, yaitu menguasai teknik menyampaikan pelajaran dengan efisien dan efektif.
3.         Memiliki kompetensi kepribadian dan akhlak mulia sehingga dapat lebih mudah membentuk pribadi siswa dengan baik.
4.         Memiliki kompetensi social yakni berkomunikasi dan kerja sama yang baik dengan para siswa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar