BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam perspektif Islam, keberadaan,
peranan, dan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak bisa diingkari. Tidak
ada pendidikan tanpa "kehadiran" guru. Guru merupakan penentu arah
dan sistematika pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola sampai
kepada usaha bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar
dalam rangka mengakses diri akan pengetahuan dan nilai-nilai hidup. Guru
merupakan resi yang berperan sebagai "Pemberi Petunjuk" kearah masa depan
anak didik yang lebih baik.
Faktor
terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. itulah yang akan menentukan
apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah
akan menjadi perusak aau penhacur bagi hari depan anak didik, terutama bagi
anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Perasaan
dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan
menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa
diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Tingkah
laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari
kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan
yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah
orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah
laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan
rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
Peran dan tanggung
jawab guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalam konteks
pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan dalam Islam terkait dengan
nilai-nilai (value bound), yang melihat guru bukan hanya pada penguasaan
material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan
spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan
kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam Islam, guru
dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berprilaku
baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus
mempratekkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan makalah pada makalah ini adalah :
1.
Bagaimana etika pembelajaran dalam perspektif islam?
2.
Bagaimana etika pembelajaran berdasarkan Al Qur’an
yang diterapkan dalam proses belajar mengajar?
3.
Bagaimana etika pembelajaran pada zaman Rasulullah
SAW?
4.
Bagaimana etika pembelajaran pada zaman Sahabat?
C.
Tujuan
Tujuan dalam
pembuatan makalah ini, diantaranya:
1.
Untuk mengetahui etika pembelajaran dalam perspektif
islam.
2.
Untuk memahami etika pembelajaran berdasarkan Al
Qur’an yang diterapkan dalam proses belajar mengajar.
3.
Untuk mengetahui etika pembelajaran pada zaman
rasulullah SAW.
4.
Untuk mengetahui proses pembelajaran pada zaman
sahabat.
BAB
II
PEMBAHASAN
ETIKA
PEMBELAJARAN DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. ETIKA PEMBELAJARAN DALAM PRESPEKTIF
ISLAM
Kajian
tentang ilmu pengetahuan pada masa Nabi atau Islam niscaya membahas tentang
masalah etika sebagai salah satu komponen penting dalam proses itu
sendiri. Dalam Islam sendiri, sebagai agama
yang di dalamnya terdapat multi disiplin keilmuan tentu saja memiliki acuan
yang baik dalam mengarahkan bagaimana perkembangan manusia dapat serasi dengan
alam dan lingkungan atau bahkan dalam situasi yang berbeda, justru manusia
memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengarahkan kemana lingkungan social
tersebut terbentuk. Islam merupakan Agama yang Rahmatan Lil’almin tentu
saja memiliki kajian khusus tentang etika. etika merupakan salah satu kajian
yang dapat digunakan agar subjek menjadi lebih terarah dan dapat menciptakan
realitas yang dinamis dan harmonis.
Dalam
menjalankan proses pengajaran sangat diperlukan guru yang profesional, karna
semakin profesionalnya seorang guru dapat memberikan kontribusi yang berarti
pada anak didik. Dalam hal ini Islam sangat memberikan perhatian kepada para
guru, sebab keberadaan mereka bagaikan batu pertama dalam strukktur
perkembangan dan kesempurnaan sosial serta jalan bimbingan dan pembangunan
tingkah laku dan mentalitas individu dan masyarakat. (Arief, 2003 : 136)
Guru dalam proses pembelajaran di samping
sebagai orang yang usaha menyempurnakan sosial dan jalan bimbingan para peserta
didik, mareka juga harus menjadi panutan atau teladan bagi para murid. Murid
memperoleh sifat yang baik serta kecendrungan yang benar, jiga perilaku yang
utama dan kealiman, dari guru-guru mareka yang mana bimbingan dan tindak
tanduknya merasuk kedalam sanubari mareka. Pembelajaran dalam Islam sangatlah
menjunjung tinggi pada para pendidik, karena mareka adalah faktor utama dalam
menentukan keberhasilah pembelajaran. Guru yang profesional adalah guru yang
memiliki metodelogi dalam penyampaian pembelajaran.
Etika dalam
perkembangannya di era modernisme seperti sekarang ini menempati posisi yang
sangat penting dalam kehidupan. Para orang tua ketika dihadapkan dengan arus
perkembangan teknologi yang sarat akan
nilai-nilai negatif, cenderung mengarahkan anaknya kepada nilai-nilai keagamaan
yang penuh akan nilai-nilai etik.
Demikian
juga halnya dalam proses belajar dan mengajar, Etika dalam kaitanya dengan
belajar dan mengajar bertujuan mengarahkan bagaimana proses belajar dan
mengajar yang sebenarnya, tentu saja dengan adanya rujukan yang jelas, maka
diharapkan dapat menghasilkan out put yang maksimal terutama para anak didik
yang berilmu sekaligus beriman dan beretika.
Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting bagi terciptanya generasi penerus
bangsa yang berilmu pengetahuan serta berakhlaqul karimah. Pendidikan Islam
adalah proses pentransferan nilai yang dilakukan oleh pendidik, yang meliputi
proses pengubahan sikap dan tingkah laku serta kognitif peserta didik, baik
secara berkelompok maupun individual kearah kedewasaan yang optimal dengan
melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga diharapkan peserta didik
mampu memfungsikan dirinya sebagai hamba maupun khalifah fil ardh dengan
tetap berpedoman kepada ajaran Islam (Susanto, 2009: 3). Dalam mewujudkan hal
tersebut, tentunya diperlukan cara yang baik dan harus sesuai dengan syari’at
Islam. Karena Islamlah agama satu-satunya yang diterima di sisi Allah swt.
Dalam Al-qur’an disebutkan : inna al-dina ‘inda Allah Al-Islam. (QS. Ali
Imran:3). Dalam Islam dikenal dua pedoman utama yaitu, yang pertama adalah
Al-qur’an dan yang kedua adalah hadits. Dari dua pedoman inilah seharusnya umat
Islam berkiblat. Sehingga tidak akan tersesat selama-lamanya didalam jurang
kehancuran.
Adapun
berbagai elemen pendidikan atau pembelajaran yang di ungkapkan para ahli adalah
sebagai berikut (Nata, 2011:17):
1.
Menurut Athiyah al-Abrasyi, unsur materi atau bahan
yang ditanamkan atau didikan kepada peserta didik, selain berupa ilmu
pengetahuan yang terpenting adalah akhlak mulia dan rasa keutamaan.
2.
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, unsur tujuan yang
mengubah tingkah laku, baik pada kehidupan individu, masyarakat ataupun alam
sekitarnya. Menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada diri anak atau
pada orang-orang yang sedang dididik.
3.
Imam Ghazali merupakan salah satu dari sekian banyak
pemikir dalam Islam yang menyinggung tentang pentingnya etika dalam pendidikan
terutama dalam proses belajar mengajar.
Menurut segi teoritis, etika di identikkan dengan ilmu ahklak. Akhlak
sendiri merupakan kata yang memiliki arti mendekati moral. akhlak berasal dari
bahasa arab yang berarti tabiat, watak budi pekerti, perangai dan adat istiadat
atau kebiasaan. Kata ahlak yang merupakan bentuk jamak dari kata hulk
mempunya akar kata yang sama dengan kata khalik (pencipta, Tuhan) dan mahkluk
(yang diciptakan), yaitu dari asal kata halaka (menciptakan). Dalam kata
akhlak tercakup pengertian terciptanya kepertaduan antara kehendak khalik
dengan prilaku manusia sebagai mahkluk. Baik prilaku seseorang dengan
orang lain maupun dengan lingkungannya. (Nasution, Harun, 1992 : 981)
Dalam Islam landasan akan nilai-nilai Etika telah tertata rapi baik yang
berasal dari rujukan primer (Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw) maupun
dari rujukan sekunder (pemikiran para tokoh-tokoh muslim dalam hal etika).
Tinggal bagaimana sebagai manusia yang berfikir mampu menelaah konsep tersebut menjadi
lebih bermanfaat dan mudah dalam menerapannya dalam keseharian.
Dalam prakteknya setidaknya terdapat
cara-cara yang dapat dilakukan seorang muslim dalam memahami landasan primer
maupun sekunder dalam islam agar etika
dapat menjadi budaya dalam berkehidupan.
Tentu saja etika yang dimaksud adalah etika yang bernafaskan Islam sehingga akan
terasa syiar Islam bagi kalangan yang lain.
Etika belajar mengajar dalam Islam adalah sebuah fitrah yang telah dimiliki
oleh Islam itu sendiri. Bukan saja sebagai agama, Islam sebagai pandangan hidup juga pada dasarnya mengandung
nilai-nilai etika. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, namun juga seluruh
dimensi dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan segi
pandangan Islam, maka agar seorang pendidik itu berhasil menjalankan tugas yang
dipikulkan kepadanya. Pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di
dalam masyarakat antara bangsa maka haruslah pendidik itu memiliki sifat-sifat
yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya
mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran,
ayat 79,
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
Artinya : “ Tidak wajar bagi
seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi
ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan
dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja
kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T
dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya
dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat
mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya.
Seperti makna sebuah hadisth Nabi S.A.W (Hadits Arba’in anawawiyah), “Iman itu
bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan
dengan amal”.
5. Bahwa ia memiliki tekad yang kuat dan sanggup
membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
6. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan
trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan
pemikiran mereka.
7. Bahwa ia bersifat adil terhadap
murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar. Adapun dalam
Kitab Ta’lim Muta’allim cara memilih guru adalah carilah yang alim, yang
bersifat wara’ dan yang lebih tua.
Seperti
makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari
pembahasan tersebut jelaslah bahwa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan
saja di dalam sekolah, tetapi juga
diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk
luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh
institusi-institusi penyiapan guru seperti sekolah-sekolah pendidikan
bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang
dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan
mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah)
Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk
membentuk generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyadari risalahnya
dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah
dan juga menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban kepada Allah S.W.T dan
mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu
juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka
menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka
sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka mereka
melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, amanah, professionalisme.
B.
ETIKA
PEMBELAJARAN BERDASARKAN AL-QURAN & HADIST
Sebagai
suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif
dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan
sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi
pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir.
Islam
tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan
penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah proses belajar
mengajar yang biasa disebut dengan pendidikan.
Sumber
untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Al-Qur’an dan al
Sunnah. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para
peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan
pengajaran.
Demikian
pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan
perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah
mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Al
Ghazzali (2009: 27-30) menjelaskan dasar hukum dan dalil bahwa
mengajarkan ilmu itu wajib dalam QS. Ali Imran : 187
“Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji
dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu) :’hendaklah kamu menerangkan
isi Kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya”.
Ayat lain
menjelaskan tentang larangan menyembunyikan ilmu dalam QS Al Baqarah :283,
“Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, maka ia adalah
orang yang berdosa hatinya”.
Selanjutnya
diperjelas lagi dalam beberapa hadist, diantaranya Nabi SAW bersabda “Sebaik-baik pemberian adalah kata-kata yang
mengandung hikmah. Engkau mendengar lalu engkau menyimpannya baik-baik,
kemudian engkau menyampaikan kepada saudaramu sesame Muslim, engkau
mengajarinya. Amalan itu setara dengan ibadah setahun”.
Dari
uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber
pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat
strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui
dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari
keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari
ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Etika
belajar mengajar dalam Islam adalah sebuah fitrah yang telah dimiliki oleh
Islam itu sendiri. Bukan saja sebagai agama, Islam sebagai pandangan hidup juga
pada dasarnya mengandung nilai-nilai etika. Tidak hanya dalam bidang
pendidikan, namun juga seluruh dimensi dalam kehidupa manusia.
Perbedaan
yang sangat jelas dengan konsep sebelumnya adalah etika belajar mengajar dalam
Islam mengambil nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sehingga
penerapannya mengacu kepada dogma dan otomatis pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan dogma yang ada dalam Islam.
Pemahaman
seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan mempengaruhi cara guru itu
mengajar. Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar-pakar. Secara
lengkap, pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut : “Pembelajaran ialah suatu proses yang
dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi denga lingkungannya”.
Sebagai
pendidik hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Banyak
hal yang berkaitan dengan kasus-kasus pendidik yang melakukan tindakan-tindakan
yang tidak bermanfaat dalam proses belajar mengajar, hendaknya meninggalkan
masalah-masalah yang tidak berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Allah SWT
telah menyalahkan Bani Israel tentang banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang
tidak penting, pertanyaan-pertanyaan yang ada melahirkan tindakan yang tidak
penting pula. Karenanya sebagai pendidik hendaknya menjauhkan hal-hal yang tidak
bermanfaat.
Berpendirian Teguh dan Berlaku Adil “bertakwalah kepada Allah dan bertindak adillah diantara anak-anakmu.” (H.r Muttafaq
alaih).
Kata-kata
(sabda) Nabi Muhmmad adalah wahyu yang harus di tadaburi, lebih-lebih firman
Allah dalam ayat suci Al-Qur’an. Seorang pendidik seperti halnya yang
disabdakan nabi, keadilan dan memperlakukan peserta didik akan menjadikan
mereka terperhatikan dan tidak adanya kecemburuan social dan kesenjangan antar
murid. Disisi yang lain, tanpa di tadaburipun dengan melaksanakan sabda nabi
dengan apa adanya telah termasuk melaksanakan hikmah, karena hikmah yang
dimaksud adalah bagaimana penjabaran dari sabda yang ada.
Yakinkan
dalam hati bahwa sesungguhnya Allah tidak memerintahkan sesuatu dan tidak
melarang sesuatu tanpa adanya hikmah. Allah swt berfirman :
Artinya :
“… ya
Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan sesuatu dengan sia-sia….” (Q.S Ali
Imran : 191).
Berpendirian
teguh tidaklah sama dengan idealisme yang akut. Berpendirian teguh adalah sikap
kepastian dalam bersikap dalam menghadapi segala bentuk permasalahan yang
pelik. Sikap terbuka dan mau menerima saran adalah bagian dari pendirian yang
teguh, bukannya menutup diri dan menganggap diri sebagai yang paling banar dan
dengan serta merta menyalahkan orang lain.
Di dalam
mendidik, seyogyanya pendidik mendidik dengan susunan yang tertib, artinya
mengajarkan mulai dari hal-hal yang paling mendasar dan hal-hal yang menjadi
akar dari hal yang harus diajarkan, setelah itu berhasil maka barulah anak
didik diajarkan hal-hal yang menjadi “batang” kemudian “ranting” kemudian
“daun” hingga selanjutnya menyentuh pada wilayah “pucuk”nya, itu semua agar
perkembangan anak didik dapat di awasi dan di pelihara. Maka tidak salah,
pengertian yang diberikan oleh ibnu abbas tentang pendidik/ atau murobbi yaitu
الذين يربون
الناس بصغار العلم قبل كباره
“Orang yang mendidik manusia mulai
dari pengetahuan-pengetahuan kecil atau mendasar sebelum pengetahuan yang besar”.
Pengertian
ini bisa dibuktikan dengan merujuk pada cara pengajaran luqman sebagai pendidik
yang baik yang telah diabadikan dalam Alqur’an, dalam QS Al-luqman ayat 13-19 :
kita
melihat luqman mengajarkan kepada anak-anaknya mulai dari hal yang paling
mendasar yaitu tauhid, aqidah yang benar, hubungan baik kepada sang
pencipta, dengan perintahnya “laa tusyrik billah” “jangan mempersekutukan
Allah”, selanjutnya luqman mengajarkan agar memperbaiki hubungan dengan manusia
utamanya berbuat baik kepada kedua orang tua, bersyukur kepada Allah lalu kedua
orang tua, bagaimana cara menyikapi orang tua yang mengajak kepada kesesatan
,kemudian mengingatkan bahwa setiap yang dilakukan pasti ada balasannya,
selanjutnya luqman mengajarkan untuk senantiasa melaksanakan tuntunan agama
yang pokok seperti sholat baru setelah itu menyuruh untuk berbuat yang makruf
dan mencegah dari yang mungkar, mengajarkan kesabaran, lalu menngajarkan akhlak
yang baik yaitu dengan melarang sombong dan angkuh terhadap manusia lain hingga
mengajarkan hal-hal yang berada pada pucuk pengetahuan, namun buah dari akar,
yang itu diibaratkan dengan perintah “sederhana dalam berjalan” dan “melunakkan
suara”. Keterangan ini menunjukkan bahwa pendidik dalam islam haruslah
memperhatikan hal-hal dengan sengat terperinici dan melakukan proses pendidikan
secara berkesinambungan.
Dalam buku
Pemikiran Pendidikan Islam mendefinisikan pendidikan adalah seorang
menyampaikan ilmu, memberi nasihat dan teladan bagi anak didiknya. Untuk itu
pendidikan harus mampu mempertahankan penampilannya sebagai orang terbaik
dimata anak didiknya, sekaligus
penanggungjawab pertama dalam pendidikan anak berdasarkan ajaran-ajaran agama
islam (
Kholik, 1999: 51).
Seorang pendidik harus mampu mendidik manusia secara utuh terlebih lagi dalam
pendidikan etika, sebab tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada
sang pencipta agar menjadi insan yang seutuhnya.
Namun pada
kenyataannya, hampir para pendidik pada realita sekarang mendidik hanya demi
memperoleh materi keduniaan semata. Semestinya, setiap pendidik hendaknya
senantiasa menumbuhkan dan mengembangkan ilmu dan amalnya kepada peningkatan
yang lebih, sehingga patut dan cocok menjadi penasehat. Seorang pendidik tidak
patut berdiam diri tidak bergerak dan tidak mengambil inisiatif apa pun dalam
menyaksikan anak didiknya melakukan kemaksiatan. Janganlah para pendidik merasa
kewajibannya hannya mengisi otak anak didiknya saja, tanpa pernah mengajurkan
mereka kejalan takwa dan taat kepada Allah SWT dan janganlah hannya mengharap
dan menunggu gaji akhir bulan, sehingga melupakan kepentingan yang pokok yaitu
berdakwah, menyeru kepada agama Allah SWT (Assayyid,1987: 17). Allah SWT telah berfirman dalam Al
Qur’an :
Artinya
:
Katakanlah :”
dengan karunia Allah dan Rahmatnya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmatnya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.( QS. Yunus (10) : 58)
Dengan
demikian pendidik sebagai uswatun khasanah, maka tidak sembarangan orang dapat
menjadi pendidik yang baik. Dalam hal ini Imam Al-Ghozali mensyaratkan untuk
orang yang dapat menjadi pendidik adalah orang yang telah mencapai derajat
alim. Dalam arti pendidik telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlak yang
mulia, sehat, syukur, ikhlas, tawakal, berlaku benar dan lain sebagainya. (Kholik,
1999: 96)
C.
ETIKA
PEMBELAJARAN PADA ZAMAN RASULULLAH
D.
ETIKA
PEMBELAJARAN PADA ZAMAN SAHABAT (Khulafaur Rasyidin)
Pada masa ini kaum muslimin tidak lagi
ditemani guru agung, Nabi Muhammad sehingga merupakan masa yang berat terhadap
berbagai cobaan dan tekanan yang dihadapi dari dalam dan luar.
Namun berkat petunjuk dan arahan dari
Rasulullah semasa beliau hidup, kaum muslimin dapat melintasi segala kesulitan
sehingga meraka mencatatkan dalam lembaran sejarah sebagai guru agung yaitu
Muhammad SAW. Para sahabat Rasul, sekaligus sebagai murid-murid beliau yang
memimpin kaum Muslimin sesudah Rasul wafat, sanggup melintasi segala ujian
dengan baik disebabkan mereka berpegang pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah
serta mengikuti jejak Rasul semasa hidupnya.
Jadi, pada masa kulafaurrasyidin ini
seakan-akan kehidupan Rasul itu berulang kembali. Pemikiran pendidikan Islam
masih tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama
rujukan pendidikannya. Pemerintahan Islam dipegang secara bergantian oleh Abu
Bakar, Uamar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
Visi pendidikan pada masa
Khulafauurasyidin secara eksplisit sulit dijumpai. Namun dari berbagai fakta
dan data yang dapat ditemui, visi pendidikan pada masa Khulaurrasyidin masih belum
berbeda dengan visi pendidikan pada zaman Rasulullah SAW. Hal ini disebabkan
karena para Khulaurrasyidin adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW. Visi
tersebut adalah unggul dalam bidang keagamaan sebagai landasan membangun
kehidupan umat. Sejalan dengan visi tersebut, maka misi pendidikan pada zaman
Khulafaurrasyidin dapat dikemukakan sebagai berikut (Nata, 2011: 118):
1.
Memantapkan
dan menguatkan keyakinan dan kepatuhan kepada ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW dengan cara memahami, menghayati, dan mengamalkannya secara
konsisten. Seperti yang tersurat dalam Hadits Arba’in Anawawiyah yang
artinya : “ Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”.
2.
Menyediakan
sarana prasarana dan fasilitas yang memungkinkan terlaksananya ajaran agama.
3.
Menumbuhkan
semangat cinta tanah air dan bela Negara yang memungkinkan Islam dapat
berkembang keseluruh dunia.
4.
Melahirkan
para kader pemimpin umat, pendidik dan da’i yang tangguh dalam mewujudkan
syi’ar Islam.
Adapun tujuan pendidikan pada masa itu melahirkan
umat yang memiliki komitmen yang tulus dan kukuh terhadap pelaksanaan ajaran
Islam sebagaimana yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Peserta didik pada
zaman sahabat terdiri dari masyarakat yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Namun
yang khusus mendalami bidang kajian keagamaan hingga menjadi seorang yang
mahir, alim dan mendalam penguasaannya di bidang ilmu agama jumlahnya terbatas.
Sarana pendidikan dalam arti umum, yakni membentuk sikap mental keagamaan
adalah seluruh umat Islam. Adapun sarana pendidikan dalam arti khusus yakni
membentuk ahli ilmu agama adalah sebagian kecil dari kalangan tabi’in yang
selanjutnya menjadi ulama.
Para pendidik di zaman sahabat antara
lain Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Siti Aisyah, Anas bin Malik, Zaid
ibn Tsabit, Abu Dzar al-Ghifari. Dari merekalah kemudian lahir para siswa yang
kemudian menjadi ulama dan pendidik. Berkaitan dengan masalah pendidikan ini,
Khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan
di kota Mekkah. Selanjutnya beliau juga mengangkat sahabat-sahabat untuk
bertugas menjadi guru daerah misalnya Abdurrahman bin Ma’qal dan Imran bin
al-Hashim ditugaskan mengajar di Bashrah, Abdurrahman bin Ghanam dan Hasan bin
Abi.
Dengan demikian, yang menjadi pendidik adalah
para Khulafaurrasyidin sendiri dan para sahabat besar yang lebih dekat kepada
Rasulullah SAW dan memiliki pengaruh yang besar.
Khulafaurrasyidin kemudian menentukan
kriteria pendidik, sebagaimana kriteria yang diberikan oleh Rasulullah SAW,
yaitu bahwa orang yang dapat diangkat menjadi seorang pendidik hendaknya
memiliki sifat-sifat tertentu. Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW dan
para sahabat memiliki sifat-sifat sebagai seorang pendidik professional, yaitu:
1.
Memiliki
potensi akademik yakni menguasi materi pelajaran dengan baik.
2.
Memiliki
kompetensi pedagogis, yaitu menguasai teknik menyampaikan pelajaran dengan
efisien dan efektif.
3.
Memiliki
kompetensi kepribadian dan akhlak mulia sehingga dapat lebih mudah membentuk
pribadi siswa dengan baik.
4.
Memiliki
kompetensi social yakni berkomunikasi dan kerja sama yang baik dengan para
siswa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.
Adapun metode yang mereka gunakan dalam
mengajar antara lain dengan membentuk halaqah. Yakni guru duduk
disebagian ruangan masjid kemudian dikeliling oleh para siswa. Guru
menyampaikan ajaran kata demi kata dengan artinya dan menjelaskan kandungannya.
Sementara para siswa menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan
oleh para guru.
Selain itu, seorang pendidik selain
harus tampil bersih dan rapi, juga senantiasa menjaga dan memelihara
kebersihan. Khulafaurrasyisin adlah para Khalifah yang jujur dan lurus. Nama
ini sudah mencerminkan sebagai seorang yang memiliki kepribadian yang baik.
Sehubungan dengan ini, maka Khulafaurrasyidin layak menjadi pemimpin dalam arti
yang luas, termasuk mendidik, mengarahkan dan membina umat.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian pembahasan yang telah dibahas pada makalah yang berjudul Etika
Pembelajaran dalam Perspektif Islam dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
menjalankan proses pengajaran sangat diperlukan guru yang profesional, karna
semakin profesionalnya seorang guru dapat memberikan kontribusi yang berarti
pada anak didik. Guru dalam proses pembelajaran di samping sebagai orang yang
usaha menyempurnakan sosial dan jalan bimbingan para peserta didik, mareka juga
harus menjadi panutan atau teladan bagi para murid.
Berdasarkan segi pandangan Islam, maka agar
seorang pendidik itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya.
Pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antara
bangsa maka haruslah pendidik itu memiliki sifat-sifat telah dicontohkan dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
Islam
sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist
sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran.
Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya
mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa
pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan
menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan
menjadi merdeka, dan seterusnya.
Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW
dan para sahabat memiliki sifat-sifat sebagai seorang pendidik professional,
yaitu:
1.
Memiliki
potensi akademik yakni menguasi materi pelajaran dengan baik.
2.
Memiliki
kompetensi pedagogis, yaitu menguasai teknik menyampaikan pelajaran dengan
efisien dan efektif.
3.
Memiliki
kompetensi kepribadian dan akhlak mulia sehingga dapat lebih mudah membentuk
pribadi siswa dengan baik.
4.
Memiliki
kompetensi social yakni berkomunikasi dan kerja sama yang baik dengan para
siswa, orang tua, dan masyarakat pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar